Tiongkok Datang !: Konstruksi dan Representasi Tiongkok di Indonesia

Munculnya Tiongkok sebagai kekuatan global telah menyebabkan keadaan panik di seluruh dunia. Terlepas dari desakan oleh para pemimpinnya tentang ‘kebangkitan damai,’ ketakutan, kegelisahan dan bahkan permusuhan terhadap Tiongkok telah tersebar luas. Sementara sebagian besar analisis lebih difokuskan pada implikasi dari kekuatan yang tumbuh di Tiongkok pada berbagai aspek hubungan kekuasaan, kurang perhatian telah diberikan pada cara di mana Tiongkok dirasakan di negara lain. Dapat dikatakan, pembangunan Tiongkok sebagai ancaman serius telah memainkan peran yang sama pentingnya dalam tanggapan negatif negara-negara lain terhadap kebangkitan Tiongkok. Penelitian yang diusulkan akan mengisi celah dalam wacana akademis tentang masalah ini dengan memfokuskan analisis pada persepsi tentang Tiongkok dan pada framing kebangkitannya. Selain itu, dengan berfokus pada kasus Indonesia, penelitian yang diusulkan tidak hanya akan membantu kita lebih memahami kebijakan Indonesia terhadap Tiongkok tetapi juga dapat menjadi penting untuk merancang kebijakan yang lebih tepat terhadap Tiongkok. Berangkat dari kerangka teori konstruktivis, penelitian ini akan dilakukan melalui pemeriksaan dokumen dan pidato, liputan media serta wawancara atau diskusi kelompok terfokus.

Penelitian ini oleh Muhadi Sugiono, Hermin Indah Wahyuni, dan Dafri Agussalim akan dilakukan bekerja sama dengan Asean Studies Center (ASC), di Chulalongkorn University di Bangkok, Thailand.

Smart Disaster Response: Kontribusi Generasi Muda Millennial dalam Penanganan Banjir Rob di Jalur Pantura Kota Semarang

Saat ini Kota Semarang telah memasuki bonus demografi, yakni fenomena melimpahnya jumlah penduduk usia produktif secara signifikan. Agar tidak berubah menjadi bencana demografi, maka pengelolaan dan pemanfaaatan bonus demografi harus segera dilakukan, khususnya dalam pelibatan pemuda-pemudi di berbagai kegiatan, termasuk pelibatannya dalam merespon persoalan banjir rob di Jalur Pantura Kota Semarang yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya. Pelibatan mereka sangat penting karena posisi mereka relatif bebas dari kepentingan politik sehingga dapat melakukan berbagai hal yang smart dan inovatif dalam menyajikan maupun mengkomunikasikan langkah strategis yang akan ditempuh untuk membantu menyelesaikan persoalan banjir rob.

Terlebih, jika kita mencermati tren kajian manajemen bencana yang berkembang dari waktu ke waktu. Pengkajian manajemen bencana di era millenial, banyak berfokus pada pentingnya peran masyarakat sipil sebab terbatasnya kapasitas negara (Adger et. al., 2005; Aldrich, 2008; Patterson, et. al., 2010; Akeyo, 2010). Bahkan, dalam empat tahun terakhir ini, kajian atas transformasi digital dalam manajemen bencana juga menjadi tren baru di kalangan generasi muda (Houston, et. al., 2014; De Albuquerque, 2015). Untuk itu, penelitian ini memposisikan diri sebagai kajian politik atas peran masyarakan sipil utamanya kalangan generasi millennial, yang akrab dengan dunia digital dan bagian dari surplus demografi Indonesia untuk merespon bencana.

Dengan memperhatikan hal tersebut, penelitian ini sejalan dengan Kebijakan Riset dan Prioritas Riset Universitas Gadjah Mada 2010-2020; Rencana Induk Penelitian (RIP) Universitas Gadjah Mada 2012-2017; maupun prioritas riset nasional khususnya Sosial Humaniora, Kebencanaan, dan Kemaritiman yang menjadi isu aktual sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045.

Tujuan jangka panjang dari penelitian oleh Theresia Octastefani, M.AP, Wawan Mas’udi, Ph.D, dan Muhammad Rum, IMAS dari Program Hibah Peningkatan Kapasitas Peneliti Dosen Muda tahun 2018 ini adalah untuk mencetak generasi penerus Kota Semarang yang mampu menjadi aktor perubahan sekaligus masyarakat tangguh bencana yang melek teknologi informasi sehingga dapat menciptakan berbagai karya yang smart dan kreatif; serta memiliki kapasitas yang cepat dan responsif untuk berkontribusi dan terlibat dalam upaya penanggulangan banjir rob. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah terintegrasinya semangat pemuda Kota Semarang dengan program pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan banjir rob sehingga penyelesaian masalah banjir rob menjadi common interest seluruh pihak terkait. Tujuan khusus lain yang ingin dicapai adalah terbentuknya kerjasama dalam bentuk joint publication antara Tim Peneliti dengan mitra kerjasama terkait. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, metode penelitian yang digunakan adalah mix method, yaitu dengan menyajikan dan menganalisis data secara kualitatif dan didukung data kuantitatif yang diperoleh melalui analisis Social Network Analysis. Adapun bentuk luaran penelitian berupa laporan akhir; draft jurnal penelitian nasional atau internasional; draft artikel seminar internasional (oral presentation); dan video.

 

 

Pluralitas Memori Digital tentang 1965: Melacak Titik Konsensus

Media merekonstruksi dan memediasi memori kolektif (Haskin, 2007; Sturken, 2008; Hoskins, 2014). Media baru memungkinkan terjadinya archiving, distributing, exhibiting, retrieving (Van House & Churchill, 2008), maupun menjadi arena kontestasi memori (Bindas, 2010) melalui deconstructing dan reconstructing terkait ingatan kolektif tentang 1965/66. Pengguna utama media baru seperti media sosial Youtube, Twitter dan Instagram di Indonesia adalah kelompok milenial yang relatif terputus dari ideologisasi rezim dan relatif bebas dari propaganda formal Orba tentang 1965.

Ada tiga jenis riset tentang memori kolektif di media digital. Pertama, banyak mengambil fokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat teknologi digital telah meluas di masyarakat dan menggambarkan bagaimana warganet menggunakan media digital untuk mengarsip, berbagai dan mengingat (Hess, 2007; Arthur, 2011; Allen & Bryan, 2011). Kedua, banyak riset memotret peristiwa terkini tentang penggunaan media digital untuk merekonstruksi atau mengingat sebuah peristiwa silam (komemorasi) atau tokoh yang telah tiada (memorialising) sebelum teknologi digital mengemuka (Recuber, 2012, Blackburn, 2013, Kalkina, 2013, Marschall, 2013, Döveling, Harju & Shavit , 2015). Ketiga, peristiwa silam yang diangkat sudah dianggap sebagai sebuah trauma seperti Holocaust (Menyhért , 2011) bahkan telah menjadi memori kosmopolit ekstrateritorial (Levy & Sznaider, 2002).

Berbeda dari ketiga jenis riset yang sudah ada di atas, riset ini mengangkat peristiwa silam, jauh sebelum teknologi digital hadir, dan masih belum ‘terselesaikan’ yaitu peristiwa 1965/66. Peristiwa tersebut diam-diam menjadi trauma publik sekaligus sejak Reformasi 1998 mengalami interpretasi terbuka. Karena peristiwa 1965/66 ‘belum tuntas’ dan tidak ada ‘rekonstruksi resmi’ dari negara, peristiwa itu dikenang dalam beragam bentuk memori digital di ranah publik dan tersebar.

Riset yang sudah ada memandang memori hegemonik dan tandingan terkandung inheren –secara berurutan– di media mainstream dan media online (Birkner & Donk, 2018). Sementara, riset ini memandang bahwa baik di media mainstream maupun media online, memori hegemonik maupun tandingan dapat terjadi (Möckel-Rieke, 1998) dan konten ingatan kolektif pada media mainstream maupun media baru belum tentu sebagai sesuatu yang dapat dipertandingkan (Gehl, 2009).

Pertayaan riset ini adalah bagaimana pertarungan narasi peristiwa 65/66 dalam media baru di kelompok milenial era demokrasi? Masih kuatkah narasi master tentang peristiwa 65/66? Bagaimana narasi tandingan tentang peristiwa 65/66 di media baru (Youtube, Instagram, Twitter)?

Penelitian oleh Dr. Hakimul Ikhwan, Gilang Desti Parahita, MA, and Dr. phil. Vissia Ita Yulianto dari Program Hibah Kolaboratif Lintas Fakultas ISIPOL UGM tahun 2018 ini mencermati dua hal yaitu: konten memori digital: 1965/66 sebagai sebuah memori yang muncul sebagai fokus maupun konteks pada sebuah narasi atau wacana pada sejumlah media sosial, dan siapa (menggunakan konsep Wulf Kansteiner (2002) tentang pembentukan memori kolektif) yang memproduksi konten memori digital.

 

Penguatan Pemahaman Kesehatan Reproduksi untuk Remaja sebagai Pencegahan Pernikahan Anak di Indonesia (Perspektif Sosiologis, Komunikasi, dan Budaya)

Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 18 tahun dengan terpaksa, dipaksa, atau atas kemauan sendiri. Dalam praktek ini, anak perempuan menjadi korban yang paling dirugikan karena berhubungan dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan terhalangnya potensi mereka untuk mengembangkan diri. Salah satu bentuk pencegahan pernikahan anak yang paling dasar adalah penerapan pemahaman kesehatan reproduksi, khususnya bagi remaja. Sayangnya, hal ini belum maksimal dilakukan karena tantangan agama dan sosial-budaya. Dengan demikian, penelitian-penelitian tentang perlunya penguatan kesehatan reproduksi mendesak dilakukan terkait upaya penyelamatan generasi muda dan kesetaran gender sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030.

Dengan memperhatikan hal tersebut, penelitian ini sejalan dengan salah satu prioritas riset Universitas Gadjah Mada yaitu penanganan masyarakat rentan. Dalam penelitian ini, remaja (laki-laki dan perempuan) adalah kelompok rentan yang mudah terjerumus dalam pernikahan anak. Penelitian ini memetakan bentuk transfer pengetahuan tentang kesehatan reproduksi baik antara anak dalam lingkungan keluarga, anak dalam lingkungan sekolah, anak dalam lingkungan masyarakat, serta pengaruh media massa konvensional dan media online yang memberikan peluang atau menjadi hambatan dalam mengakses pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Keadaan ini juga sesuai dengan rencana induk penelitian Universitas Gadjah Mada yaitu persoalan aspek budaya dari media sosial dan media digital serta peta riset Pusat Studi Asia Tenggara UGM yaitu dinamika sosial, politik, dan budaya di kawasan Asia Tenggara, secara khusus Indonesia.

Tujuan jangka panjang dari penelitian oleh Prof. Dr. Partini, Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni, dan Lidwina Mutia Sadasri, MA dari Program Hibah Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi – PDUPT tahun 2018-2019 ini adalah mendorong perumusan kebijakan pembangunan manusia, khususnya perempuan yang sensitif terhadap Hak Kesehatan Reproduksi Seksual (HKRS) melalui pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif di berbagai institusi pendidikan. Adapun target khusus yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah publikasi penelitian mengenai pemetaan pendidikan kesehatan reproduksi dan potensinya untuk mencegah pernikahan anak. Dalam memenuhi hal ini, metode riil yang dilakukan adalah memberikan data otentik secara kualitatif maupun kuantitiatif yang didapatkan di lapangan dan kemudian menggalang kerjasama dengan berbagai stakeholder terkait (pemerintah, lembaga pendidikan, BKKBN, LSM). Bentuk publikasi antara lain jurnal penelitian internasional dan nasional, publikasi buku, rekomendasi perumusan kebijakan publik, seminar hasil penelitian, dan pelatihan tentang kesehatan reproduksi bagi remaja.

 

Film Dokumenter sebagai Katalis Perubahan Sosial di Indonesia

Penelitian oleh Dr. Budi Irawanto, Dr. Novi Kurnia, dan Theresia Octastefani, M.AP dari Program Hibah Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi – PDUPT tahun 2018-2020 ini bertujuan mengkaji pertautan antara film dokumenter dan perubahan sosial di Indonesia. Sejak bergulirnya proses demokratisasi (Reformasi) sejak 1998, film dokumenter mengalami pertumbuhan yang layak dicatat dan produksinya kian tersebar ke sejumlah wilayah di Indonesia. Berbeda dengan film fiksi, film dokumenter bersandar pada faktualitas dan melakukuan klaim kebenaran atas realitas yang diangkatnya. Lebih dari sekadar sekadar merepresentasikan beragam masalah sosial, film dokumenter memiliki kekuatan membuka wawasan, membangkitkan kesadaran dan membentuk sikap tertentu. Tak mengherankan, film dokumenter mampu mempersuasi penonton, menciptakan pemaknaan yang berlapis, memberikan pengalaman yang kaya dan melahirkan kesadaran baru terhadap pelbagai persoalan (isu) sosial, politik, kultural atau ekologi yang direpresentasikannya.

Kendati demikian, selama ini penelitian film dokumenter di Indonesia lebih banyak berfokus pada aspek tematik (konten) tertentu dan dimensi institusional yang berkaitan dengan organisasi penyelenggara pemutaran film dokumenter. Belum banyak dilakukan eksplorasi film dokumenter sebagai teks sekaligus implikasi sosialnya dalam konteks tertentu di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini hendak mengkaji lebih mendalam relasi yang kompleks antara film dokumenter dengan perubahan sosial. Kebaruan penelitian ini terletak pada ikhtiar menemukan implikasi praktis atau dimensi praksis film dokumenter dalam kaitannya dengan perubahan sosial di Indonesia.

Menggunakan studi kasus, penelitian ini menggali data lewat wawancara mendalam dengan sejumlah aktivis komunitas film dokumenter yang aktif di beberapa wilayah di Indonesia, seperti: Banda Aceh, Banjarnegara, Klaten, Yogyakarta, Denpasar, Lombok, Palu dan Makasar. Selain itu, data yang digali dari lapangan akan dikombinasikan dengan analisa teks sejumlah film dokumenter yang bermuatan perubahan sosial agar diperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap esensi pesan yang hendak disampaikannya. Temuan penelitian ini diharapkan menyumbang bagi pengetahuan tentang film dokumenter dalam menginspirasi dan menjadi katalis bagi perubahan sosial di Indonesia dengan menimbang konteks dan problem yang khas pada setiap wilayah. Dengan demikian, luaran akhir penelitian ini berupa publikasi dalam pelbagai bentuk, antara lain: artikel jurnal ilmiah (nasional dan internasional), buku, manual (panduan) dalam memproduksi dan mengorganisasikan pemutaran film dokumenter yang berorientasi pada perubahan sosial.

 

Tradisi dan Hubungan Internasional: Alternatif Penyelesaian Konflik melalui Inisiatif ‘Masyarakat Adat’ dalam Penyelesaian Perselisihan Perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste

Sengketa perbatasan merupakan salah satu masalah yang paling menantang dalam normalisasi hubungan antara Indonesia dan Timor Leste. Dua perbatasan darat memisahkan kedua negara: 150 km di bagian timur dan 120 km di bagian barat (Oecusse, kantong Timor Leste di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia). Sementara bagian timur perbatasan telah berhasil dinegosiasikan, bagian barat perbatasan masih diperdebatkan hingga saat ini. Negosiasi perbatasan yang tidak pasti berlanjut hingga hari ini tanpa kemajuan yang signifikan. Ada perbedaan interpretasi antara negosiator Indonesia dan Timor Leste.

Kegagalan penyelesaian sengketa perbatasan tidak hanya mencegah pengembangan kawasan tetapi juga, yang lebih serius, menyebabkan ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam hubungan di antara orang-orang yang menduduki wilayah perbatasan. Ketegangan, konflik, dan kekerasan muncul sebagai akibat dari situasi yang tidak pasti ini. Ketegangan yang dipicu oleh dugaan invasi orang Timor di wilayah Indonesia, misalnya, telah meningkat menjadi kekerasan dan deklarasi perang di masyarakat pada tahun 2016.

Wilayah perbatasan yang tidak tenang dihuni oleh orang-orang dengan ikatan kekerabatan. Perbatasan internasional baru pasti akan memisahkan dan memutus hubungan. Tapi, perbatasan antarnegara bagian yang tidak pasti akan mengubah hubungan kekerabatan menjadi hubungan permusuhan. Dalam konteks inilah inisiatif masyarakat adat harus dilihat sebagai jalan menembus kebuntuan dan langkah positif untuk mencegah situasi memburuk. Oleh karena itu, studi yang serius diperlukan untuk mendukung kasus resolusi konflik tradisional tersebut.

Penelitian ini oleh Drs. Muhadi Sugiono, MA, Atin Prabandari, MA, Edegar Da Conceicao Savio, Ph.D, Jose Cornelio Guterres, Ph.D, Prof. Dr. Aloysius Liliweri, Dr. Kotan Y. Stefanus, Dr. Ajis SA Djaha, dan Bilveer Singh dari Program Hibah Kolaboratif Internasional Fakultas ISIPOL UGM pada tahun 2018 adalah upaya untuk menjawab masalah di atas, untuk memahami sejauh mana inisiatif masyarakat adat dapat memberikan alternatif pemecahan masalah untuk kebuntuan dan sengketa perbatasan yang belum terselesaikan. Bekerja sama dengan aktivis akademik dari Univesidade da Paz, Universitas Nasional Singapura, dan Pascasarjana Universitas Nusa Cendana, penelitian ini akan memberi jalan bagi menghubungkan para akademisi di dua negara dalam memecahkan masalah sosial dan politik yang sama; membawa upaya akademis dalam memecahkan masalah sosial dan politik yang nyata (penelitian 2.0). Secara akademis, penelitian ini juga akan memberikan wawasan tentang peran aktif, signifikan, pengetahuan, praktik dan kearifan lokal masyarakat adat dalam penyelesaian sengketa perbatasan (penelitian 1.0). Selanjutnya, penelitian ini akan menerangi pemahaman kita tentang penyelesaian sengketa perbatasan alternatif di negara-negara pasca-kolonial di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya.

Komunikasi dan Politik Bencana di Indonesia: Analisis Tanggapan Multi-Lapisan terhadap Bencana Maritim di Semarang dan Aceh

Penelitian ini oleh Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni, Theresia Octastefani, M.AP., M.Pol.Sc, Muhammad Rum, IMAS, dan Prof. David Robie dari Program Hibah Kolaboratif Internasional Fakultas ISIPOL UGM pada tahun 2018 dimaksudkan untuk menganalisis komunikasi dan politik bencana di Indonesia melalui pemeriksaan tanggapan berlapis-lapis terhadap dua bencana maritim: banjir pasang surut di Semarang dan ancaman tsunami di Aceh. Meskipun bencana maritim ini memiliki karakteristik berbeda, keduanya merusak. Walaupun banjir pasang surut di Semarang merupakan bencana yang lambat, tsunami di Aceh tiba-tiba datang. Banjir pasang-surut telah terjadi di sepanjang pantai utara Jawa selama beberapa dekade, tetapi belum bisa dimitigasi; pada kenyataannya, itu hanya berkembang dan menyebabkan lebih banyak kerusakan. Sementara itu, tsunami 2004 di Aceh adalah bencana maritim terbesar yang pernah dialami di Indonesia, menewaskan ratusan ribu, menyebabkan kehancuran besar-besaran, dan menciptakan sejumlah masalah sosial yang masih ada hingga hari ini. Visi utama pemerintah Joko Widodo (Jokowi) untuk menegaskan kembali status Indonesia sebagai negara maritim yang kuat tidak dapat direalisasikan secara optimal, dan bahkan dapat dihambat, jika bencana ini tidak dapat diatasi.

Melalui kasus-kasus bencana maritim di Semarang dan Aceh, penelitian ini bertujuan untuk menawarkan wawasan baru dalam mengukur kinerja manajemen bencana dari sudut pandang politik. Keberhasilan menangani bencana bukan hanya tentang teknis, tetapi bergantung pada interaksi sistem, yaitu komunikasi dan politik bencana. Sistem ini harus saling menguatkan untuk memungkinkan ketahanan sosial. Keterbukaan politik, inklusivitas, dan demokratisasi dalam sistem ini mungkin menguntungkan promosi ketahanan. Sementara itu, kegagalan untuk memasukkan pemangku kepentingan berlapis-lapis dengan lebih baik dapat menghasilkan tingkat risiko masyarakat yang lebih tinggi. Tiga aspek komunikasi dan politik bencana akan dikaji dalam penelitian ini: nilai dan norma, regulasi, dan tata kelola tanggap bencana.

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif yang menggabungkan beberapa prosedur pengumpulan data, termasuk wawancara, diskusi kelompok fokus, analisis konten sederhana, observasi, dan peninjauan dokumen kebijakan.

 

Integration in Southeast Asia: Trajectories of Inclusion, Dynamics of Exclusion (SEATIDE)

SEATIDE (Integration in Southeast Asia: Trajectories of Inclusion, Dynamics of Exclusion) adalah proyek yang didanai oleh FP7 Uni Eropa yang akan menggunakan pendekatan berbasis penelitian lapangan untuk mempelajari proses integrasi dan pengecualian di negara-negara Asia Tenggara (SEA). Dipimpin oleh Ecole francaise d ‘Extreme-Orient (EFEO), proyek ini akan mendapat manfaat dari sumber daya dan keahlian dari lembaga-lembaga utama Studi Asia di Asia Tenggara dan Eropa, serta jaringan EFEO unik dari 10 pusat lapangan yang terletak di SEA.

 

Tujuan utama

Proses integratif menawarkan janji pembangunan ekonomi dan budaya, gerakan bebas, promosi kewarganegaraan dan jaringan pengetahuan dengan hubungan luas dengan dunia yang lebih luas. Pada saat yang sama, kegagalan untuk mengambil keuntungan dari manfaat ini dapat mengakibatkan proses pengecualian yang melemahkan kerangka kerja nasional / regional, dan menimbulkan risiko di bidang pembangunan / keamanan manusia, termasuk bahaya disintegrasi kerangka kerja. Dalam memeriksa proses-proses ini, penelitian SEATIDE akan diinformasikan oleh kesadaran bahwa dinamika eksklusi harus dipelajari bersama-sama dengan dinamika inklusi untuk menghasilkan analisis holistik proses integratif dan bentuk kontemporer, yang memperhitungkan perspektif lokal jangka panjang.

 

Peningkatan kapasitas penelitian

Dengan memperkuat penelitian Eropa tentang SEA, proyek ini akan berkontribusi pada koordinasi pertukaran ilmiah Uni Eropa-ASEAN, peningkatan kapasitas jaringan, dan promosi generasi baru peneliti lapangan di SEA.

 

Pendekatan SEATIDE

 

Penelitian lapangan

Proyek ini akan melakukan penelitian lapangan dan menghasilkan analisis yang mempertimbangkan pengetahuan lokal serta studi ekonomi makro dan perspektif ahli. Data kualitatif dan kuantitatif akan disajikan dalam studi kasus yang disusun oleh kerangka analitis umum, berpusat pada tetapi tidak terbatas pada empat negara SEA (Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia), dengan fokus pemersatu pada isu-isu transnasional.

 

Target

Hasil proyek akan disebarluaskan dan didiskusikan dengan para spesialis SEA di Eropa dan Asia, perwakilan masyarakat dan pemangku kepentingan lokal, serta pembuat kebijakan di ASEAN dan Uni Eropa. Kerangka kerja penelitian secara keseluruhan SEATIDE akan mengimplementasikan empat paket pekerjaan (WP) pada isu-isu yang berkaitan dengan keragaman, kemakmuran, pengetahuan dan keamanan. Penyebaran hasil penelitian akan menjadi tugas WP terpisah yang dirancang untuk memaksimalkan dampak proyek melalui dorongan debat publik tentang hasilnya, yang akan disajikan dalam laporan negara, publikasi jurnal, dan konferensi.

 

Paket Pekerjaan Proyek

 

Perbedaan/Diversity (WP2)

Universitas Hamburg dan EFEO, bekerja sama dengan Universitas Tallinn, akan memeriksa apakah dan sejauh mana integrasi nasional dapat mengatasi keragaman kawasan. Biaya / manfaat pembangunan bangsa akan dianalisis dalam konteks pembangunan ekonomi, budaya nasional, agama, hak warga negara, proses sentralisasi, dan nasionalisme pesaing.

 

Kemakmuran/Prosperity (WP3)

University of Milano-Bicocca dan Akademi Ilmu Sosial Vietnam akan mempelajari gerakan-gerakan sukarela dan tidak disengaja dari orang-orang di SEA, terutama sirkulasi lintas batas, migrasi desa-kota, migrasi tenaga kerja intranasional dan transnasional, untuk menilai dampaknya terhadap kehidupan individu dan kelompok. Perspektif gender sangat penting untuk serangkaian studi ini.

 

Pengetahuan/Knowledge (WP4)

Pusat Sejarah dan Ekonomi, Magdalena College, Cambridge, dan Universiti Sains Malaysia akan menganalisis jaringan pengetahuan dan situs interaksi yang menghubungkan dan membentuk kawasan yang beragam ini, dan hubungannya dengan dunia yang lebih luas. Perhatian khusus diberikan kepada peran Eropa masa lalu dan sekarang dalam sistem pengetahuan ini.

 

Keamanan/Security(WP5)

Universitas Gadjah Mada akan mengevaluasi pengembangan kerangka kerja politik di tingkat nasional dan regional dalam KLHS, termasuk analisis krisis historis dan kontemporer yang telah memunculkan struktur integratif baru dan formasi budaya yang membedakan cara oeASEAN dari integrasi Uni Eropa.

 

Diseminasi hasil (WP6)

Universitas Chiang Mai bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan hasil proyek melalui penyelenggaraan konferensi, publikasi, liputan pers, dan ringkasan kebijakan. Selain menghasilkan penelitian inovatif di Asia Tenggara, SEATIDE bertujuan untuk meningkatkan dialog # yang diprakarsai dalam proyek FP7 EFEO.

 

Indonesia & Second Track Diplomacy Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan (2015)

Kasus sengketa yang terjadi di wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah salah satu kasus sengketa wilayah yang paling pelik yang pernah terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sengketa ini tidak hanya melibatkan beberapa pihak sekaligus, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam tetapi juga mencakup beberapa isu terkait tumpang tindih klaim teritorial dan penarikan batas laut di wilayah tersebut. Meskipun saat ini sengketa di Laut Tiongkok Selatan relatif damai, fakta bahwa sengketa tersebut belum terselesaikan secara tuntas memungkinkan terjadinya friksi-friksi atau bahkan konfrontasi militer di masa depan. Bahkan jika dilihat tren yang terjadi selama lima tahun terakhir, ketegangan yang muncul antara pihak-pihak yang bersengketa menunjukkan level yang lebih tinggi dibandingkan pada dekade sebelumnya. Oleh karena itu sangat diperlukan sebuah kerangka kerja penyelesaian damai yang jelas untuk menghindari situasi memburuk di masa depan.

Meskipun demikian, pendekatan penyelesaian damai yang telah diupayakan selama ini belum mampu menyelesaikan sengketa yang telah ada sejak empat dekade silam tersebut. Pada first track diplomacy, pendekatan regional oleh ASEAN, meskipun telah berhasil menyetujui Deklarasi Tata Perilaku Pihak-Pihak di Laut Tiongkok Selatan (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea) yang cukup berhasil dalam mengelola sengketa, pendekatan tersebut belum dapat mendukung penyelesaian sengketa secara berkelanjutan. Selain kesulitan dalam menengahi konflik mengingat beberapa anggota ASEAN juga merupakan pihak-pihak yang bersengketa, pendekatan regional di leel ASEAN terhambat beberapa faktor lain, seperti perpecahan negara-negara anggota yang menginginkan peran ASEAN dalam penyelesaian konflik tersebut dan negara-negara yang menginginkan penyelesaian secara bilateral seperti yang digagas oleh Tiongkok. Pada ekstrim lain di level first track diplomacy, pendekatan bilateralisme yang digagas oleh Tiongkok juga memiliki keterbatasan. Pertama dan yang terpenting, strategi yang cenderung mengarah pada ‘devide et impera‘ terhadap negara-negara di kawasan ini tidak akan menjadi kepentingan Tiongkok dalam jangka panjang. Kedua, semakin meningkatnya kebijakan yang asertif dari Tiongkok dalam sengketa ini akan menjadi kontraproduktif dengan pendekatan bilateralnya.

Berkaca pada keterbatasan-keterbatasan first track diplomacy yang dilakukan oleh ASEAN dan Tiongkok, pendekatan penyelesaian damai yang berkelanjutan, jika merujuk pada teori multi track dilomacy, akan lebih mungkin tercapai jika melibatkan dan memberdayakan potensi-potensi lain di semua level diplomasi yang ada. Dalam hal ini, second track diplomacy adalah salah satu potensi yang perlu digali untuk mendukung dan menutupi keterbatasan-keterbatasan yang ada pada first track diplomacy. Workshop “Managing Potential Conflicts in the South China Sea” yang digagas oleh Indonesia merupakan salah satu contoh second track diplomacy yang telah dilakukan selama ini dan berpotensi dalam mendukung penyelesaian sengketa yang berkelanjutan yang dilakukan pada first track diplomacy. Setidaknya terdapat dua hal penting yang menjadi alasan dilakukannya upaya second track diplomacy dalam penyelesaian konflik ini. Pertama, dari sisi diplomasi dan seperti yang selalu ditekankan dalam workshop ini bahwa second track diplomacy yang bersifat informal memberikan kesempatan bagi para pihak yang bersengketa untuk dapat hadir dalam kapasitas personal dan mengemukakan pendapatnya secara lebih terbuka tanpa adanya tekanan seperti yang terjadi pada first track diplomacy. Alasan kedua pentingnya workshop ini sebagai potensi pendukung penyelesaian sengketa damai yang berkelanjutan adalah berkaitan dengan Indonesia sendiri sebagai negara penyelenggara. Selain faktor bahwa Indonesia sejauh ini bukan bagian dari pihak yang bersengketa yang membuat posisinya sebagai mediator lebih dapat diterima oleh semua pihak, Indonesia juga dikenal sebagai pemimpin normatif di kawasan yang sering dipercaya untuk menengahi sengketa.

Berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan di atas, penelitian ini bertujuan untuk melihat mekanisme pengelolaan dan penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan yang telah dilakukan Indonesia pada second track diplomacy, utamanya melalui Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea (WMPC-SCS) yang telah dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementrian Luar Negeri selama 24 tahun terakhir. Secara lebih spesifik, penelitian ini akan berusaha menjawab dua pertanyaan utama, yaitu bagaimana mekanisme second track diplomacy yang telah dilaksanakan Indonesia melalui WMP-SCS selama ini, dan bagimana efektivitas diplomasi tersebut.

Singkong untuk Kedaulatan Pangan: Studi Kolaboratif (2015)

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian unggulan perguruan tinggi berjudul “Singkong untuk Kedaulatan Pangan: Studi Kolaboratif” yang dilakukan oleh 10 (sepuluh) pusat studi di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Penelitian kolaborasi ini berawal dari keinginan untuk mengembangkan semangat gotong royong mempelajari ketahanan pangan dan kedaulatan energi, khususnya yang terkait dengan singkong sebagai alternatif pangan demi menuju ketahanan pangan nasional.Lebih lanjut, penelitian kolaboratif ini diharapkan dapat memberi sumbangsih yang komprehensif berdasarkan bidang keilmuan masing-masing pusat studi bagi bangsa Indonesia secara luas dan pemerintah secara khususnya dalam bentuk rekomendasi kebijakan terkait dengan singkong dan ketahanan pangan di Indonesia.

Sebagai pusat studi yang berorientasi pada persoalan sosial di regional Asia Tenggara, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) memfokuskan penelitian singkong ini pada studi komparasi pengelolaan singkong sebagai alternatif pangan di Thailand dan Vietnam, dua negara yang saat ini menduduki posisi puncak eksportir singkong di level dunia. Penelitian ini berangkat dari anggapan sederhana bahwa ketika suatu negara berhasil menjadi eksportir terbesar dunia, tentunya negara itu sudah terlebih dahulu berhasil mencukupi kebutuhan pangan di dalam negerinya sendiri.Lebih lanjut, dengan mempelajari skema ketahanan pangan di negara-negara tersebut, peneliti akan dapat merumuskan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Indonesia mengenai ketahanan pangan, khususnya yang terkait dengan singkong sebagai komoditas pangan alternatif.